Orang-orang tak pernah takut kalau dia datang.
Orangnya tenang. Ramah. Tidak bersenjata.
Bahkan sering senyum.
Tapi entah mengapa, setiap kali dia mampir ke rumah warga — siapapun itu — tetangganya yang meninggal; bukan orang yang dikunjunginya. Justru yang serumah aman-aman saja.
Yang tinggal di sebelah, yang mendadak jatuh, tersedak, stroke, atau sekadar tak bangun lagi.
Awalnya orang mengira kebetulan.
Lalu jadi gumaman.
Lalu mitos.
Lalu legenda.
"Kalau dia mampir ke rumahmu, pastikan kamu bukan tetangga sebelah."
Kalimat itu jadi lelucon gelap, disampaikan dengan gugup sambil melirik jendela.
Ada yang menyebut dia pembawa kutuk.
Ada pula yang lebih sinis: "jangan-jangan dia pembunuh bayaran paling licin — korbannya tak pernah yang ditarget, tapi yang di sampingnya."
Tapi tuduhan itu tak pernah terbukti. Tak ada sidik jari. Tak ada motif. Tak ada racun. Hanya kematian... yang selalu berulang.
Hingga akhirnya, dia benar-benar jadi presiden.
Orang-orang yang sebelumnya merasa aman — justru kini mulai menghitung rumah mereka... dari pagar rumah kekuasaan. Karena istana bukan tempat tinggal satu orang, tapi meminjam alamat satu bangsa, dengan garis tak kasat mata yang menjalar ke setiap kota. Dan semua orang, tanpa kecuali, tinggal di sebelah seseorang entah siapa, entah kapan — pada malam itu, giliran bisa mengetuk tanpa suara, tak pernah memberi aba-aba.
____________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah sempat mampir. Jangan bosan ya.. :-)