Sabtu, 26 Juli 2025

Tetangga Sebelah Mati Mendadak (Bagian 2: Cerita fiksi yang terlalu dekat dengan kenyataan)


Setelah ia jadi presiden, tak ada ledakan besar. Tak ada pidato lantang.

Ia tetap seperti dulu. Senyumnya sama. Langkahnya tetap ringan.
Tapi satu hal tak berubah:

Kematian tetap terjadi.
Tak di pusat. Tapi di samping.
Tak di target. Tapi di sekitar target.

Seorang gubernur wafat setelah rapat koordinasi. Bukan yang duduk di seberang meja—melainkan yang duduk sebelah kiri.

Seorang taipan besar tersedak di restoran—bukan karena hidangan presiden, tapi karena tertawa mendengar candanya.

Seorang tokoh oposisi ditemukan tak sadarkan diri. Ia tinggal bersebelahan dengan tempat presiden singgah semalam.

Dan rakyat mulai resah... bukan karena takut padanya,
tapi takut jadi 'sebelah' dari siapa pun yang sedang dekat dengannya.


Mereka menyebutnya “Kutukan Simetri.”
Selalu simetris. Selalu tak langsung.
Seperti gelombang kejut dari pusat gempa yang tak menghancurkan episentrum, tapi memecah yang ada di pinggir.


Para ilmuwan politik menyebutnya “Efek Kolateral Sistemik.”
Para spiritualis menyebutnya “Bayangan Karmika.”
Rakyat biasa hanya menyebutnya:
"Pokoknya, jangan tinggal di sebelah."


Sampai suatu hari...
Ia bicara di depan layar TV.
Tak pidato. Tak kampanye.

Hanya sebuah kalimat:

“Kalau kalian masih takut jadi tetangga sebelah...
maka, berdirilah di hadapan saya.
Karena yang berdiri di depan, tak akan mati sia-sia.
Tapi yang bersembunyi di samping, akan dilupakan bersama rumor dan dosa masa lalu mereka.”

Dan sejak hari itu,
rakyat tak lagi saling menghindari...
mereka berbaris.
Bukan karena cinta. Tapi karena ingin tetap hidup.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah sempat mampir. Jangan bosan ya.. :-)