![]() |
Tenda Nomad. ilustrasi: goodandlost.org |
Banyak cerita kisah para sahabat Nabi SAW dan para alim ulama dari zaman ke zaman yang telah aku baca. Tapi kisah inilah yang menjadi favoritku.
Hasan
Basri, pada mulanya adalah seorang pedagang permata yang termashur dengan
julukan "Hasan Permata". Sering berdagang ke Bizantium (Turki
sekarang), bersahabat dekat dengan perdana menteri kerajaan itu.
Dilahirkan
di Madinah pada 21 H (642 M) dengan nama Al Hasan bin Abi Al Hasan. Bersahabat
dekat dengan Zaid bin Tsabit, seorang juru tulis Rasulullah Muhammad SAW.
Dibesarkan di Basrah dan berkenalan dengan banyak sahabat Nabi. Tujuh di antara
sahabat tersebut adalah para pejuang perang Badar.
"Mari
ke suatu tempat bila kau setuju," ajak Perdana Menteri Bizantium mengajak
Hasan Basri pada suatu hari. "Terserah yang mulia, " jawab Hasan.
Lalu Perdana Menteri mengatakan tujuannya. Hasan Basri bersedia.
Pelayan
mengeluarkan kuda untuk mereka berdua masing-masing. Kemudian mereka berdua
berangkat. Ketika mereka sampai di suatu padang pasir, Hasaan melihat sebuah
tenda dari kain brukat Bizantium yang diikat dengan kain sutera berpasak emas,
tertancap kukuh di tanah. Si penghuni tenda berjalan ke salah satu
sisinya.
Tidak
lama, sepasukan tentara yang gagah-gagah datang dengan mengenakan baju besi.
Mereka mengelilingi tenda tersebut, memberi hormat sambil mengucapkan beberapa
patah kata dan berlalu.
Kemudian
datang beberapa filosof dan para ilmuwan sebanyak 400 orang. Usai mengelilingi
tenda sambil menghormat dan mengucapkan beberapa patah kata, mereka pun pergi.
Setelah
itu, muncul beberapa gadis cantik yang masing-masing membawa piring emas berisi
perak dan batu-batu manikam berharga, mengelilingi tenda itu. Setelah
menghormat dan mengucapkan beberapa patah kata, mereka pun pergi.
Hasan
Basri merasa heran dan takjub melihat peristiwa itu dan membatin bertanya-tanya
tentang kejadian tersebut.
Dalam
perjalanan pulang, itu semua ditanyakannya kepada sang Perdana Menteri. Lalu
Perdana Menteri menjelaskan. Kaisar punya seorang putra yang sangat tampan dan
paling tampan di kerajaan itu. Selain gagah perkasa, sang putra mahkota juga
menguasai semua cabang ilmu pengetahuan. Kaisar sangat mencintainya dengan
sepenuh hati. Tiba-tiba sang putra mahkota jatuh sakit. Seluruh tabib ternama
yang terlatih ternyata tak mampu menyembuhkannya. Akhirnya sang putra mahkota
itu pun wafat.
Setiap
tahun orang-orang dari istana kekaisaran berziarah ke makamnya. Sepasukan
tentara yang menzirahi dengan mengelilingi tenda makamnya, mengatakan:
"Wahai tuan kami sekiranya yang menimpa tuan terjadi karena peperangan,
niscaya kami korbankan seluruh hidup kami untuk tuan. Itu demi menebus kepergian
tuan. Tetapi musibah ini terjadi karena sesuatu yang kami tak dapat melawan-Nya
dan kami tak dapat menentang-Nya."
Giliran
para filosof dan ilmuwan maju ke depan. Mereka mengatakan: "Mohon maaf,
Pangeran. Keadaan yang menimpa pangeran disebabkan oleh sesuatu yang tak dapat
dihadapi dengan dalamnya pengetahuan, filsafat, sains dan kemahiran
retorika. Semua filosof di dunia tak berdaya di hadapan-Nya dan semua
orang terpelajar menjadi pandir dibanding pengetahuan-Nya. Andaikan bukan
kerena itu, niscaya kami akan menyusun muslihat dan kata-kata mujarab yang
semua makhluk tak dapat menandinginya." Mereka pun pergi.
Akhirnya
majulah para perawan cantik yang membawa perak dan batu-batu permata dalam
piring-piring emas mengelilingi tenda sambil mengatakan: "Putra mahkota,
andaikan yang menimpa tuan dapat ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, tentu
akan kami korbankan diri-diri kami dengan harta yang banyak. Tak akan kami
biarkan tuan begini. Tetapi kematian tuan disebabkan oleh sesuatu yang kekayaan
dan kecantikan tidak berarti bagi-Nya." Mereka pun berlalu.
Kemudian
Kaisar sendiri dan Perdana Menteri memasuki tenda. Sang Kaisar berkata:
"Wahai mata dan pelita tambatan hati ayahmu! Apa yang dapat ayah berikan
padamu? Telah ayah datang pasukan gagah berani, para filosof dan cendikiawan,
para ahli doa dan penasihat serta perawan-perawan cantik jelita dengan
kekayaan penuh kemewahan. Ternyata semua itu tak berdaya sedikitpun.
Maafkan ayah. Salam sejahtera buatmu. Sampai jumpa tahun depan". Lalu sang
Kaisar berlalu dan diikuti oleh Perdana Menteri. Mereka pun kembali.
Semua
yang disampaikan oleh Perdana Menteri itu sangat menyentuh jiwa Hasan Basri.
Dia menyadari bahwa harta dan kekuasaan duniawi ternyata sama sekali tak berdaya
menghadapi panggilan maut. Oleh karena tenggelam merenungi kejadian
itu, Hasan Basri terdiam tak sadarkan diri hingga memasuki kota Basrah. Setelah
tersadar, ia berjanji pada dirinya untuk tidak tertawa terlena sampai
akhir hayatnya. Sejak itu pula, ia menghabiskan hari-harinya dengan penuh
ketaatan dan mawas diri menghindari dosa. Sehingga jarang orang yang dapat
menandingi kedisiplinannya pada waktu itu.
--------------------------------------
Disadur
dari: "Al Tadzkirat Al Auliya" (Kisah Para Aulia), oleh Fariduddin
Atthar (1120-1230)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah sempat mampir. Jangan bosan ya.. :-)